TEMPO.CO, Jakarta – PT Garuda Indonesia (Persero) tbk menanggung beban membayar denda sebesar 19 juta dolar Australia atau Rp 213,3 miliar (kurs Rp 11.226,4) setelah sepakat berdamai Komisi Pengawas Persaingan Usaha Australia atau Australian Competition and Consumer Commision (ACCC). Perjanjian damai ini berkaitan dengan perkara penetapan harga atau kartel fuel surcharge kargo.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan perusahaannya telah berkomitmen memenuhi putusan pengadilan sesuai isi perjanjian damai. “Iya kami komitmen,” kata Irfan saat dihubungi Tempo, Senin petang, 19 April 2021.
Perjanjian damai disahkan oleh Pengadilan Federal New South Wales, Australia, atas perkara hukum yang teregistrasi dengan nomor NSD955/2009. Garuda Indonesia akan mencicil denda selama lima tahun terhitung mulai Desember 2021 atau akhir tahun nanti.
Di tengah kewajiban membayar denda, Garuda Indonesia menanggung beban keuangan berat selama pandemi Covid-19. Bila menengok lagi keuangan perseroan, maskapai pelat merah ini mencatat kerugian hingga US$ 1,07 miliar atau sekitar Rp 15,2 triliun (kurs Rp 14.227 per dolar Amerika) per September 2020 atau kuartal III.
Rugi bersih Garuda Indonesia berbanding terbalik dibandingkan catatan pada kuartal III 2019. Kala itu, emiten dengan kode GIAA tersebut meraup laba bersih US$ 122,42 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.
Penyebab utama penurunan kinerja Garuda adalah anjloknya pendapatan dari penjualan tiket penerbangan berjadwal yang menjadi sumber utama perseroan. Kontribusi pendapatan dari penerbangan berjadwal pada kuartal III 2020 hanya US$ 917,28 juta atau Rp 13,69 triliun. Angka ini jauh di bawah perolehan kuartal III 2019 sebesar US$ 2,79 miliar.